Ilmu VS Perilaku
Kualitas manusia ditentukan oleh 2K: Kompetensi dan Karakter. Kompetensi bicara kecerdasan. Karakter fokus di perilaku. Hubungan 2K bukan keseimbangan. Bukan pula punya peran masing-masing 50%. Tetapi keduanya saling mengisi, memperkuat, mengokohkan. Di bangunan, karakter itu fondasi. Ibarat buah, kompetensi kulit dan karakter isi. Di pepohonan, karakter adalah akar. Fondasi, isi dan akar tak tampak. Yang tampak cantik, indah dan menarik adalah bangunan, kulit, batang cabang serta dedaunannya.
Tanpa fondasi, bangunan pasti rubuh. Akar rusak, pohon pun tak tumbuh sehat. Semenarik-menariknya kulit, yang utama tetap isi. Tubuh boleh atletis atau seksi. Juga menawan karena ganteng dan cantik. Untuk dipandang-pandang tak akan bosan. Untuk sekadar teman, oke lah. Untuk jadi sobat, apalagi pasangan hidup yang kita nikahi, nanti dulu. Tak cukup yang dilihat cuma fisiknya. Sebab yang fisik, pasti peyot.
Cuma itulah kita. Yang memesona tetap fisik. Dia jahat pada yang lain, kita tersanjung. Sebab pada kita tidak. Padahal sifat dasarnya jahat. Bahaya! Dia sombong pada yang lain, kita juga mesem-mesem. Sebab untuk kita, apapun dia berikan. Padahal sifat utamanya, angkuh. Ini juga bawa petaka. Artinya seringkali kita sisihkan nilai-nilai dan perilaku negatif. Maka yang wanita utamakan cantiknya. Yang pria utamakan gelar, pangkat dan hartanya.
Sering juga kita dengar: “Cinta? Ahaaa, tak bisa hidup ini cuma makan cinta doang”. Jika sudah begini jelas arahnya. Materi jadi utama.
Cari uang dengan ilmu. Usai dapat, rawatlah dengan perilaku baik. Tapi kita simak. Padanan ilmu dan perilaku baik, apakah memang tepat. Ilmu itu bagian kompetensi. Dulu ilmu terbatas cabangnya. Kini ilmu berkembang pesat. Cabang ilmu turunkan spesies, jenus dst.
"Cuma itulah kita. Yang memesona tetap fisik. Dia jahat pada yang lain, kita tersanjung. Sebab pada kita tidak. Padahal sifat dasarnya jahat. Bahaya!"
Dulu interior rumah urusan penghuni. Kini sekolah disain interior tumbuh dimana-mana. Dulu manajemen disepelekan. Kini? Wah. Dulu camat, mungkin asal ada. Kini STPMD luluskan camat-camat berkualitas. Dulu Nagabonar asal bagi-bagi pangkat. Kini jangan main-main dengan Lemhanas. Dulu kakek nenek, piknik itu bawa makanan. Sampai di tempat, gelar tikar rantang pun dibuka. Makanlah bersama. Wah rasanya selangit. Kini kuliner dimana-mana. RM Padang pun jadi resto terhebat di Dili Timor Leste. Namun KFC dan McD pun meraja lela di Indonesia.
Kini peluang cari uang terbentang. Kesempatan halalkan segala cara juga terbuka lebar. Halalkan itu perilaku buruk. Apa saja diterabas. Tanpa sadar, yang didapat itu “uang panas”. Di bisnis, orang lain jadi korban. Entah pembeli atau rekan. Di pemerintahan, itu korupsi.
"Sering juga kita dengar: “Cinta? Ahaaa, tak bisa hidup ini cuma makan cinta doang”. Jika sudah begini jelas arahnya. Materi jadi utama"
Halalkan cara itu dengan kekuatan. Kekuatan bisnis ada dikecerdasan, suap, gusur atau bunuh. Kekuatan korup ada di jabatan dan kekuasaan.
Cerdas seperti jabatan, netral sifatnya. Baik tidaknya tergantung pelaku di belakangnya. Pelaku baik, maslahat. Pelaku buruk, mudharat. Tanpa ahlak – karakter, kecerdasan dan jabatan jadi celaka serta mencelakakan. Pertanyaannya: “Indonesia makin baik atau buruk?”
Bicara uang panas atau korupsi, mudharatnya lengkap. Bagi pelaku merasa aman dan terhormat. Padahal esensinya, maling itu hina. Mengapa merasa aman dan terhormat? Sebab di pemerintahan dia masih punya jabatan, pangkat, kekuasaan, wewenang dan kaki tangan.
Di bisnis halalkan cara tak terlihat. Ekspansi perusahaan, balutannya professional dan persaingan. Siapa tumbang, salahkan diri sendiri. Padahal faktanya bukan itu. Ada yang diberi kemudahan, ada juga yang dipersulit. Atau saya dapat izin, mengapa anda tidak. Atau bagaimana bisnis tak moncer. Karena pejabat negara, terang-terangan jadi komisaris di sebuah perusahaan. Atau anaknya jadi salah satu BOD-nya.
Ada fenomena di kita yang jadi lumrah. Pengusaha jadi orang kuat partai. Lapar dan hausnya partai dipenuhi dengan grojokan uangnya. Akhirnya bgmn tak lebih hebat bisnisnya. Orang-orang kuat ini duduk di pemerintahan. Begitu jadi pejabat, masyaa Allah.
Rumusnya jadi P + P = 2P. Pengusaha ditambah Pejabat sama dengan 2 kali Percepatan.
Pengusaha yang jadi pejabat, itu sudah gaharu cendana pula. Rumus ini makan korban. Siapa? Negara, bangsa dan tanah air. Negara sama dengan pemerintah. Bangsa adalah rakyat. Tanah air berarti asset.
Pengusaha yang jadi pejabat, bagaimana bisa kontrol diri untuk tak manfaatkan jabatan, kekuasaan dan wewenangnya. Jika tak terkontrol, dia akan bangun korporasi miliknya sebesar-besarnya. Jadi pejabat sementara. Sedang bisnis permanen. Turun ke anak cucu. Jika bisa kontrol dan pisahkan mana pribadi dan mana urusan negara, kita wajib cium tangan beliau. Jika tidak, duuuh nasib Indonesia.
Jabatan, kekuasaan dan wewenang itu bagian dari kompetensi. Sekali lagi ditegaskan. Semua ini netral. Tergantung pelaku di belakangnya.
"Orang bule bilang: “Knowledge is power. But character is more”. Padahal Barat jadi pusat ilmu. Tapi karakter dilebihkan"
Malaysia dan Brunei bisa jadi pembanding. Why? Sama-sama Melayu lah. Mengapa mereka bisa lebih baik, tenang dan tentram. Meski bisa juga bandingkan dengan Singapura, cuma memang agak beda. Bagaimana-pun lebih didominasi Tiongkok. Etos Tiongkok lebih lah.
Soal di Malaysia, Brunei dan Singapura pasti ada. Cuma skala, keakutan dan rentetan kerusakan, tetap diupayakan dicegah dan dibatas-batasi.
Soal cerdas, kita sering bilang: “Malaysia dan Brunei jauh di bawah”. Soal kompetensi, kita unggul. Hal karakter, ini yang jadi soal dan sial kita. Prof. Rhenald Kasali katakan: “80% keberhasilan ditopang perilaku. Sisanya kecerdasan”. Perilaku adalah karakter. Cerdas itu kompetensi.
Orang bule bilang: “Knowledge is power. But character is more”. Padahal Barat jadi pusat ilmu. Tapi karakter dilebihkan. Jawab sendiri lah.
Agar Indonesia bangkit, apa yang musti dilakukan? Bangunlah negeri dengan ilmu. Praktikkan atau rawatlah negeri dengan perilaku atau karakter.
Caranya?
Kesatu, niat bangun negeri.
Kedua, sungguh-sungguh, komit dan konsisten.
Ketiga, jangan korup atau untuk kepentingan sendiri.
A’a Gym bilang: “Mulailah dari sekarang, dari diri sendiri, dan dari hal yang terkecil”.
Erie Sudewo (selasar.com)
Subscribe to:
Post Comments
(
Atom
)
No comments :
Post a Comment